Ada Artikel yang menurut saya cukup menarik untuk kita baca dan simak. Artikel ini saya ambil dari koran Tribun Kaltim edisi online. Artikel ini di tulis oleh Komaruddin Hidayat, beliau adalah Guru Besar dan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Artikel ini saya ambil point-point nya saja tanpa mengurangi isi dan maknanya, sehingga mudah di mengerti. Semoga artikel ini menambah wawasan kita dalam beribadah puasa Ramadhan. Selamat membaca.
Menjalankan puasa merupakan sebuah tantangan. Banyak disebutkan bahwa bukan menahan lapar dan haus saja yang terasa berat, namun yang dianggap lebih berat adalah menahan diri dari emotional outburst atau ledakan emosi. Mungkin saja bagi Muslim Indonesia demikian, namun bagi mereka yang menjalani puasa di negara-negara yang memiliki banyak musim, dan kebetulan bulan Ramadan jatuh pada musim panas, menahan makan dan minum bisa jadi menjadi tantangan yang tidak mudah.
Bayangkan saja di beberapa negara di Amerika Utara, misal puasa mulai jam 4 pagi sampai jam 8 malam. Belum lagi mereka berpuasa di tengah-tengah mayoritas masyarakat non- Muslim. Meskipun tidak ada larangan, tentu saja tingkat kesulitan dan tantangan dari sisi itu menjadi berlipat.
Puasa di negeri orang ternyata tidak mudah. Namun pernahkah kita membayangkan bagaimana dengan orang asing non-Muslim yang berada di Indonesia selama bulan Ramadan? Kawan saya bercerita tentang pengalamannya bekerja bareng dengan orang asing saat puasa. Dia bercerita suatu siang, kawannya orang asing itu memijat-mijat kepalanya seperti sakit.
Rupanya dia belum makan apa-apa dari pagi. Ketika ditanya kenapa, dia bilang dia ikut “puasa” untuk menghormati kawan-kawannya yang puasa. Ketika disarankan untuk makan saja, dia tetap menolak dengan alasan dia merasa tidak nyaman untuk makan di tengah-tengah mereka yang sedang berpuasa.
Ada lagi kawan warga asing yang saat itu ikut dalam sebuah pertemuan sambil buka bersama. Saat Adzan maghrib berkumandang, dia terlihat semangat juga berbuka seperti kawan-kawan lain yang berpuasa. Rupanya dia seharian juga tidak makan, walaupun dia bilang puasa tapi juga masih minum air putih, karena takut dehidrasi.
“Saya senang ikut puasa untuk menghormati kawan-kawan yang berpuasa, tapi saya hanya bisa melakukan baby fasting (puasa bayi).”
Saya kira istilah baby fasting (puasa bayi) ini sangat menarik untuk direnungkan. Ada dua makna yang bisa ditarik dari istilah ini. Pertama, istilah ini bermakna puasa yang secara kualitas, tingkat kemampuan dan kesanggupannya masih tingkatan bayi, belum dewasa. Al-Ghazali dalam karya monumentalnya Ihya Ulumuddin mengkatagorikan puasa seperti ini sebagai puasa tingkat awam, yaitu puasa yang hanya dimaknai sekedar menahan lapar, dahaga dan nafsu birahi. Ini adalah kategori terendah setelah puasa khawasul khawas dan khawas.
Ada baiknya saat ini kita introspeksi diri, jangan-jangan puasa kita selama ini masih bersifat baby fasting. Karena kalaupun tidak makan dan minum, tapi berapa sering kita tidak mampu menahan hawa nafsu dalam ucapan dan tindakan? Berapa banyak ucapan yang telah dilontarkan yang membuat tidak nyaman dan menyakiti? Berapa sering gerak gerik dan tindakan kita membuat orang lain merasa sakit hati, marah dan tersinggung selama berpuasa? Puasa bayi seperti inilah mungkin yang dalam hadith disinyalir sebagai ibadah puasa, namun yang mengerjakannya tidak mendapatkan apa-apa kecuali rasa lapar dan haus saja.
Kedua, kata baby atau bayi dalam istilah di atas merujuk pada tindakan yang dilakukan tanpa didasari oleh pengetahuan dan pengertian atau hanya sekedar meniru. Menurut filosuf Aristotle, meniru itu merupakan salah satu insting yang dimiliki manusia semenjak bayi. Bahkan dikatakan manusia mendapatkan rasa senang dari meniru atau imitasi (mimesis) ini. Sampai-sampai manusia dianggap sebagai makhluk yang paling banyak meniru, the most imitative living creatures.
Manusia secara alamiah dianugerahi dorongan untuk mencipta atau membuat (create) dan membuat kembali (re-create) sesuatu yang merepresentasikan realitas atau alam. Maka lihatlah, bayi akan makan, minum dan berbicara melalui proses meniru ibunya. Sesungguhnya insting mimetic inilah yang mendorong lahirnya beragam karya seni seperti sastra, drama, lukisan, film dan lain-lain. Karena pada dasarnya semua karya itu merupakan “tiruan” atau representasi dari realitas yang ada dalam kehidupan manusia.
Dalam konteks imitasi inilah, istilah “puasa bayi” dapat dimaknai sebagai puasa yang dilakukan hanya karena mengikuti kebiasaan yang ada di lingkungan sekitarnya. Berpuasa bukan karena ingin mensucikan diri, meningkatkan kualitas iman atau menjalankan perintah agama, tapi karena orang di sekitarnya berpuasa, dan kalau dia tidak, akan merasa tidak enak, risih. Dengan alasan seperti ini maka tidak heran kalau antara puasa dan kualitas keimanan serta kesalehan tindakan tidak ada kaitannya.
Puasa, tapi masih menggunjing, memfitnah, tawuran, mencelakai orang, mencuri, berbuat sewenang-wenang bahkan menghilangkan nyawa orang lain ataupun dirinya sendiri. Apakah puasa kita selama beberapa hari ini masih masuk kategori puasa ini? Kalau jawabannya ya, tidak perlu berkecil hati. Masih ada waktu untuk memperbaiki. Semoga kita diberi petunjuk dan kekuatan untuk belajar menjadi lebih baik.
sumber : http://www.tribunkaltim.co.id
Baca selengkapnya...