Hukum Seputar Puasa Syawal
Para pembaca yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala, bulan Ramadhan yang telah berlalu janganlah sampai membuat kita putus asa dari meraih pahala Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang Maha Pemurah. Karena di bulan Syawal masih ada peluang beramal kebaikan yang mendatangkan pahala dan balasan kebaikan bagi pelakunya.
Di antara amalan di bulan Syawal yang dapat kita lakukan untuk meraih pahala dari Allah adalah Puasa enam hari di bulan Syawal. Pada postingan saya sebelumnya, saya telah memposting tentang Keutamaan Puasa Syawal, berikut adalah penjelasan Hukum Seputar Puasa Syawal yang saya kutip dari blog Jurnal Salfiyun, semoga bermanfaat!.
LANDASAN HUKUM
“Apakah ibadah tersebut (puasa 6 hari di bulan Syawal) ada dasarnya dari hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam?”
Jawabannya: ada. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثـــُمَّ أَتــْبَعَهُ سِتـــًَّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa berpuasa Ramadhan, kemudian mengiringinya dengan (puasa) 6 (hari) di bulan Syawal, maka jadilah seperti puasa setahun.” (HR. Muslim no. 1164, dari shahabat Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu)
Sehingga kita tidak usah ragu lagi untuk mengamalkan amalan puasa 6 hari di bulan syawal ini, karena dalilnya jelas dan bersumber dari hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih.
KEUTAMAANNYA
Keutamaan puasa ini adalah bagaikan berpuasa selama satu tahun. Sebagaimana dapat kita pahami dari hadits yang disebutkan di atas.
Mengapa pahalanya seperti puasa selama satu tahun?
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan (sebagaimana yang beliau nukilkan dari pernyataan para Ulama): “Karena kebaikan itu dilipatgandakan sebanyak 10 kali lipat, maka (puasa) Ramadhan menjadi seperti 10 bulan. Sedangkan puasa 6 hari (di bulan Syawwal) seperti puasa 2 bulan [1]. (Lihat Syarhu Syahih Muslim, 8/56)
Sehingga apabila digabungkan antara kebaikan yang didapat dari puasa Ramadhan dengan puasa 6 hari di bulan Syawal sebanding dengan puasa selama 12 bulan (yaitu 1 tahun penuh), atau bahkan lebih. Wallahu a’lam.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (dalam sebuah hadits Qudsi): Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (memerintahkan Malaikat-Nya):
… وَإِذ َا أَرَادَ أَنْ يَعْمَلَ حَسَنَةً فَلَمْ يَعْمَلْهَا فَاكْتــُبُوهَا لَهُ حَسََنَةً فَإِنْ عَمِلَهَاٍ فَاكْتـــُبُوهَا لَهُ بــِِعَشْرِ أَمْثــَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائــَةِ ضِعْفٍ .
“. . . Dan jika (hambaku) hendak berbuat kebaikan (tetapi) belum sempat melakukannya, maka tulislah satu kebaikan untuknya. (Tapi) jika sudah dilakukannya, maka tulislah baginya sepuluh kebaikan semisalnya sampai 700 kali lipat.” (HR. Al-Bukhari no. 7062 dan Muslim no. 129, dengan lafazh Al-Bukhari)
PETUNJUK PELAKSANAAN
1. Berniat ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana ibadah yang lain, maka di antara dua syarat diterimanya amalan adalah niat yang ikhlas dan mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena ini adalah puasa sunnah, maka boleh baginya berniat ketika sudah di pagi hari, dengan syarat: belum pernah makan atau minum sejak terbit fajar shubuh. [2]
2. Makan Sahur, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Pembeda antara shiyam (baca: puasa) kita dengan shiyamnya Ahlul Kitab adalah makan sahur.” (HR. Muslim no. 1096)
Sehingga sangat dianjurkan bagi kaum Muslimin yang hendak berpuasa untuk bersahur. Walaupun, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berpuasa sunnah tanpa makan sahur, ketika beliau tidak mendapatkan makanan di rumah ‘Aisyah Radhiallahu ‘anha.
3. Segera berbuka, jika matahari sudah tenggelam (masuk waktu Maghrib). Sebagaimana pada puasa Ramadhan.
4. Lebih baik atau afdhalnya dilakukan dengan berturut-turut (mulai tanggal 2,3,4, . . . sampai tanggal 7 Syawal). Walaupun apabila dipisah-pisah atau diakhirkan hingga akhir Syawal juga boleh. Sebagaimana dijelaskan oleh Al-Imam An-Nawawi Rahimahullah. [3]
5. Bebas memilih hari-harinya, baik di awal bulan, pertengahan maupun di akhir bulan, dan boleh pula terpisah-pisah (satu hari – satu hari tapi tidak berurutan). [4]
Namun dengan catatan:
- Selain tanggal 1 di bulan Syawal (karena ini adalah hari Ied yang kita dilarang berpuasa di dalamnya).
- Tidak berpuasa di hari Jum’at saja [5] atau hari Sabtu saja [6], kecuali jika diiringi dengan puasa pada satu hari sebelumnya atau sesudahnya.
6. Harus mendahulukan qadha` (membayar hutang puasa Ramadhan), sebelum puasa 6 hari Syawal. Karena perkara yang wajib harus didahulukan daripada perkara yang sunnah.
Dijelaskan dalam sebuah hadits, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya):
“Barangsiapa berpuasa Ramadhan, kemudian mengiringinya dengan (puasa) 6 (hari) di bulan Syawal, …..” (HR. Muslim)
Sehingga jika seseorang masih memiliki hutang puasa Ramadhan, maka dia baru dikatakan “telah berpuasa sebagian Ramadhan”. Dan belum dikatakan “telah berpuasa Ramadhan”. [7]
7. Seorang istri harus mendapatkan izin dari suaminya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تـَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بــِإِذْنِهِ
“Tidak halal bagi seorang wanita untuk berpuasa saat suaminya ada (bersamanya) kecuali dengan seizinnya.” (HR. Al-Bukhari no. 4899, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Kecuali puasa wajib di bulan Ramadhan. [8]
Wallahu a’lamu bish shawab.
Catatan kaki:
[1] Puasa 6 hari seperti pahala puasa 2 bulan, sehingga menjadi 60 hari jika satu bulannya 30 hari atau 58 hari jika satu bulannya 29 hari. (ed.)
[2] HR. Muslim no. 1154, At-Tirmidzi no. 733 dan An-Nasa`i no. 2330, 2322. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam langsung menyatakan akan berpuasa ketika tahu bahwa di rumah ‘Aisyah radhiallahu ‘anha tidak ada sesuatu yang bisa dimakan. Tanpa melakukan niat dari malam harinya dan tanpa makan sahur. (ed.)
[3] Lihat Syarhu Shahih Muslim (8/56).
[4] Lihat penjelasan Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah di Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibni Utsaimin no. 390 (20/8).
[5] Lihat hadits riwayat Al-Bukhari no. 1884 dan Muslim no. 1144, dari shahabat Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu.
[6] Lihat hadits riwayat Abu Dawud no. 2421, At-Tirmidzi
no. 744, dan Ibnu Majah no. 1726
[7] Lihat penjelasan Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah di Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibni Utsaimin no. 384 (20/6).
[8] HR. Abu Dawud no. 2458, At-Tirmidzi no. 782, Ibnu Majah no. 176, dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu.
Di antara amalan di bulan Syawal yang dapat kita lakukan untuk meraih pahala dari Allah adalah Puasa enam hari di bulan Syawal. Pada postingan saya sebelumnya, saya telah memposting tentang Keutamaan Puasa Syawal, berikut adalah penjelasan Hukum Seputar Puasa Syawal yang saya kutip dari blog Jurnal Salfiyun, semoga bermanfaat!.
LANDASAN HUKUM
“Apakah ibadah tersebut (puasa 6 hari di bulan Syawal) ada dasarnya dari hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam?”
Jawabannya: ada. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثـــُمَّ أَتــْبَعَهُ سِتـــًَّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa berpuasa Ramadhan, kemudian mengiringinya dengan (puasa) 6 (hari) di bulan Syawal, maka jadilah seperti puasa setahun.” (HR. Muslim no. 1164, dari shahabat Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu)
Sehingga kita tidak usah ragu lagi untuk mengamalkan amalan puasa 6 hari di bulan syawal ini, karena dalilnya jelas dan bersumber dari hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih.
KEUTAMAANNYA
Keutamaan puasa ini adalah bagaikan berpuasa selama satu tahun. Sebagaimana dapat kita pahami dari hadits yang disebutkan di atas.
Mengapa pahalanya seperti puasa selama satu tahun?
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan (sebagaimana yang beliau nukilkan dari pernyataan para Ulama): “Karena kebaikan itu dilipatgandakan sebanyak 10 kali lipat, maka (puasa) Ramadhan menjadi seperti 10 bulan. Sedangkan puasa 6 hari (di bulan Syawwal) seperti puasa 2 bulan [1]. (Lihat Syarhu Syahih Muslim, 8/56)
Sehingga apabila digabungkan antara kebaikan yang didapat dari puasa Ramadhan dengan puasa 6 hari di bulan Syawal sebanding dengan puasa selama 12 bulan (yaitu 1 tahun penuh), atau bahkan lebih. Wallahu a’lam.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (dalam sebuah hadits Qudsi): Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (memerintahkan Malaikat-Nya):
… وَإِذ َا أَرَادَ أَنْ يَعْمَلَ حَسَنَةً فَلَمْ يَعْمَلْهَا فَاكْتــُبُوهَا لَهُ حَسََنَةً فَإِنْ عَمِلَهَاٍ فَاكْتـــُبُوهَا لَهُ بــِِعَشْرِ أَمْثــَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائــَةِ ضِعْفٍ .
“. . . Dan jika (hambaku) hendak berbuat kebaikan (tetapi) belum sempat melakukannya, maka tulislah satu kebaikan untuknya. (Tapi) jika sudah dilakukannya, maka tulislah baginya sepuluh kebaikan semisalnya sampai 700 kali lipat.” (HR. Al-Bukhari no. 7062 dan Muslim no. 129, dengan lafazh Al-Bukhari)
PETUNJUK PELAKSANAAN
1. Berniat ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana ibadah yang lain, maka di antara dua syarat diterimanya amalan adalah niat yang ikhlas dan mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena ini adalah puasa sunnah, maka boleh baginya berniat ketika sudah di pagi hari, dengan syarat: belum pernah makan atau minum sejak terbit fajar shubuh. [2]
2. Makan Sahur, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Pembeda antara shiyam (baca: puasa) kita dengan shiyamnya Ahlul Kitab adalah makan sahur.” (HR. Muslim no. 1096)
Sehingga sangat dianjurkan bagi kaum Muslimin yang hendak berpuasa untuk bersahur. Walaupun, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berpuasa sunnah tanpa makan sahur, ketika beliau tidak mendapatkan makanan di rumah ‘Aisyah Radhiallahu ‘anha.
3. Segera berbuka, jika matahari sudah tenggelam (masuk waktu Maghrib). Sebagaimana pada puasa Ramadhan.
4. Lebih baik atau afdhalnya dilakukan dengan berturut-turut (mulai tanggal 2,3,4, . . . sampai tanggal 7 Syawal). Walaupun apabila dipisah-pisah atau diakhirkan hingga akhir Syawal juga boleh. Sebagaimana dijelaskan oleh Al-Imam An-Nawawi Rahimahullah. [3]
5. Bebas memilih hari-harinya, baik di awal bulan, pertengahan maupun di akhir bulan, dan boleh pula terpisah-pisah (satu hari – satu hari tapi tidak berurutan). [4]
Namun dengan catatan:
- Selain tanggal 1 di bulan Syawal (karena ini adalah hari Ied yang kita dilarang berpuasa di dalamnya).
- Tidak berpuasa di hari Jum’at saja [5] atau hari Sabtu saja [6], kecuali jika diiringi dengan puasa pada satu hari sebelumnya atau sesudahnya.
6. Harus mendahulukan qadha` (membayar hutang puasa Ramadhan), sebelum puasa 6 hari Syawal. Karena perkara yang wajib harus didahulukan daripada perkara yang sunnah.
Dijelaskan dalam sebuah hadits, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya):
“Barangsiapa berpuasa Ramadhan, kemudian mengiringinya dengan (puasa) 6 (hari) di bulan Syawal, …..” (HR. Muslim)
Sehingga jika seseorang masih memiliki hutang puasa Ramadhan, maka dia baru dikatakan “telah berpuasa sebagian Ramadhan”. Dan belum dikatakan “telah berpuasa Ramadhan”. [7]
7. Seorang istri harus mendapatkan izin dari suaminya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تـَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بــِإِذْنِهِ
“Tidak halal bagi seorang wanita untuk berpuasa saat suaminya ada (bersamanya) kecuali dengan seizinnya.” (HR. Al-Bukhari no. 4899, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Kecuali puasa wajib di bulan Ramadhan. [8]
Wallahu a’lamu bish shawab.
Catatan kaki:
[1] Puasa 6 hari seperti pahala puasa 2 bulan, sehingga menjadi 60 hari jika satu bulannya 30 hari atau 58 hari jika satu bulannya 29 hari. (ed.)
[2] HR. Muslim no. 1154, At-Tirmidzi no. 733 dan An-Nasa`i no. 2330, 2322. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam langsung menyatakan akan berpuasa ketika tahu bahwa di rumah ‘Aisyah radhiallahu ‘anha tidak ada sesuatu yang bisa dimakan. Tanpa melakukan niat dari malam harinya dan tanpa makan sahur. (ed.)
[3] Lihat Syarhu Shahih Muslim (8/56).
[4] Lihat penjelasan Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah di Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibni Utsaimin no. 390 (20/8).
[5] Lihat hadits riwayat Al-Bukhari no. 1884 dan Muslim no. 1144, dari shahabat Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu.
[6] Lihat hadits riwayat Abu Dawud no. 2421, At-Tirmidzi
no. 744, dan Ibnu Majah no. 1726
[7] Lihat penjelasan Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah di Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibni Utsaimin no. 384 (20/6).
[8] HR. Abu Dawud no. 2458, At-Tirmidzi no. 782, Ibnu Majah no. 176, dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu.
2 comments
maaf mau tanya,,
saya punya hutang puasa ramadhan 4 hr,, sudah 4 hr ni saya berpuasa tp dg niat puasa syawal...
setelah baca artikel ini saya jd bingung,, seharusnya kan puasa qadha dl,, lalu puasa saya yg kemarin2 bagaimana ya...? karena niat saya puasa syawal tapi hutang puasa syawal saya belum saya lakukan
@setiaMemang lebih afdol bayar dulu hutang puasa ramadhan kemudian lanjutkan dengan puasa syawal. Berhubung sudah diniatkan puasa syawal, jadi selesaikan saja puasa syawalnya kemudian baru bayar hutang puasa ramadhan.
Wallahua'lam bishawab
Post a Comment