Berita mengejutkan dari Jawa Timur, para ulama Pondok Pesantren se Jawa-Madura yang tergabung dalam Forum Komunikasi Pondok Pesantren Putri (FMP3) menyatakan fatwa Haram bagi Facebook. Pernyataan ini dikeluarkan saat pembahasan di forum Bahtsul Masail di Pondok Pesantren Putri Hidayatul Mubtdien Lirboyo, Kelurahan Lirboyo, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri.
“Ini merupakan hasil pembahasan terakhir yang kami lakukan semalam. Intinya, larangan ini kami keluarkan sesuai dengan aturan yang sudah ada dalam ketentuan agama,” kata salah satu anggota perumus Komisi C FMP3, Masruhan. (dikutip KabarIT dari Detikinet)
Namun fatwa ini menuai kecaman dari beberapa pengguna Facebook. Bapak Blogger Indonesia dan pengamat internet Enda Nasution menganggap itu kurang kerjaan dan terkesan seperti fatwa lucu-lucuan ala ulama.
“Tanggung, kalau gara-gara penggunaan Facebook berlebihan, terus dikeluarkan fatwa haram. Sekalian saja penggunaan internet, ponsel, dan semua hal yang berlebihan di fatwa-kan haram,” tegas Enda yang juga anggota Facebook aktif. (dikutip KabarIT dari Okezone)
Para ulama menganggap pertemanan spesial berlebihan yang dilakukan di Facebook haram, karena pada Facebook pertemanan yang secara spesial tanpa tujuan keseriusan. Jika pertemanan spesial untuk mengenal dan diteruskan dalam hubungan pernikahan diperbolehkan, namun pada Facebook tidak seperti proses khitbah (pinangan atau lamaran),.
Jadi pengharaman ini hanya berlaku untuk pertemanan spesial yang berlebihan saja, namun tetap halal jika sesuai manfaat dan penggunaannya.Sumber berita & image; KabarIT.com Berita terkait; DetikInet.com
Analisa Bro Azwar ini bagus dan proporsional!.
ReplyDeleteOrang kadang mudah terjebak pada sikap simplikasi yang memalukan, sehingga sehingga orang-orang tak bersalah harus jadi “korban” komentar-komentar tidak bermutu semacam “ulama gaptek”, “ulama kurang kerjaan”, “makanya para ulama coba dong belajar internet biar paham isinya....”, dan sebagainya.
Ada 3 substansi penting yang sayang sekali terlewat gara2 simplifkasi itu:
1. keputusan di atas bukanlah “fatwa” dalam arti term fiqh yang sesungguhnya, tapi ‘hanya’ merupakan buah pikiran para santriwati (ingat, santri, bukan ulama, bukan kyai) yang tergabung dalam Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) Jawa –Madura yang mencoba perduli (masih untung sekali ada yang perduli) untuk sedinamis mungkin menyikapi sebuah fenomena baru dari sudut fiqh. Jadi, yang agak ‘alergi’ fatwa, silahkan tersenyum lega.
2. kita (pengguna berbagai varian media komunikasi) tak seharusnya ‘panik’ (atau ‘takut’?) lalu bereaksi terhadap keputusan-keputusan hukum semacam itu dengan emosi meledak-ledak, atau merespon dengan sinis. Bukankah Islam telah mengajarkan konsep klarifikasi (tabayyun) atas berita-berita yang kita terima, sehingga tidak perlu terjadi penyesalan lantaran menimpakan kesalahan pada orang-orang yang sebetulnya tidak bersalah apa-apa (al-Hujurat, 49:6)? Lagipula, keputusan di atas menekankan pada aspek penggunaan media komunikasi dan niat serta hajat yang mendasarinya, bukan dzat alatnya. Persis filosofi pisau; tergantung untuk apa ia digunakan. Jadi hukum haram dalam keputusan itu adalah haram dengan batasan “kecuali”.
3. keistimewaan Islam --salah satunya-- adalah ia begitu cermat mengatur setiap aspek kehidupan agar dapat bernilai ibadah. Bukankah soal ‘remeh’ semacam buang air besar saja ada aturan sunnah-makruh-haramnya, mulai dari masuk WC sampai keluar lagi? Konon pula yang bersinggungan dengan kehidupan sosial baik nyata atau maya. Maka setiap hal yang baru, bagi mereka yang kesehariaannya bergelut dengan hukum dan pemikiran Islam, menjadi menarik untuk dipelajari, dicermati, dan dicari landasan hukumnya, apakah selaras dengan syariat, minimal ada pembenarannya, ataukah justeru berseberangan.
Jadi, jika ada yang kurang atau tidak sreg dengan hasil keputusan di atas (dan yang semacamnya); atau barangkali ada yang salah di situ, kenapa tidak direspon juga secara ilmiyah? Bukankah ini juga bagian dari upaya untuk menjaga diskursus hukum Islam tetap terbuka dan dinamis? Mana yang perlu dikonter, silahkan dikonter (dengan hujjah-hujjah yang mu’tabarah), bukan sekedar bermain argumentasi akal-akalan semata, apalagi –na’udzu billah— mencibir hukum yang sharih.
Maaf, Bro, kalo komeng saya kepanjangan. jgn kapok ke partelon, yak?
@ partelon: terima kasih atas komentarnya yang cukup panjang dan telah berbagi pemikiran tentang fenomena facebook saat ini. thanks before :D
ReplyDeleteSama2, Bro. Saya salut sama Bro Azwar, yg gak ikut2an mencak2 menyikapi fenomena itu, hehehehe...
ReplyDeleteBtw, saya minta ijin blog NT sy follow... :)
wooooow brother tersayang kelihatan ulamanya neh disini...hehehhehehe...Maf numpang ngomentarin komentarnya brother partelon...
ReplyDeleteuntuk empunya blog salam kenal ya...